Begitu isi pesan singkat Mas Yus, Ketua Majelis Tabligh PCM Borobudur, di grup WA “Muhammadiyah Borobudur” ini. Rekan-rekan yang membaca mungkin menanggapinya biasa saja. Apalagi tidak ada pesan sebelumnya yang membahas tentang “pertemuan”. Kemungkinan ada juga yang bingung dengan hadirnya pesan “ujug-ujug” di atas.
Namun, saya bisa memahami pesan di atas. Mas Yus menyampaikan pesan itu bukan tanpa sebab. Saya dapat menerka maksud dan tujuannya karena saya sedang bersamanya. Mas Yus, Pak Lilik, Pak Yatno dan saya sedang mengikuti kegiatan PCM Muntilan. Dimana narasumbernya adalah Bapak Rahmat Abdul Ghani.
Bapak Rahmat Abdul Ghani adalah ketua PRM Gunungpring. Pernah meraih penghargaan sebagai ranting terbaik se-Indonesia pada tahun 2017. Uniknya, lelaki paruh baya ini ber-KTP Borobudur. Sementara ia menjabat sebagai ketua PRM Gunungpring yang berada di Kecamatan Muntilan.
Kembali ke pesan singkat Mas Yus di atas. Pesan itu dikirimkan seketika. Tepatnya ketika Pak Rahmat Abdul Ghani berbicara tentang “Malam Jumat Bermuhammadiyah.” Pak Rahmat bersama dengan pengurus PRM Gunungpring yang lain bersepakat untuk meluangkan waktunya satu hari dalam seminggu untuk Muhammadiyah. Akhirnya muncul kesepakatan, kumpul setiap Kamis malam Jumat. Maka lahirlah istilah “Malam Jumat Bermuhammadiyah.”
Awalnya, gerakan rapat malam jumat Bermuhammadiyah ini diragukan sendiri oleh Pak Rahmat Abdul . “Meh mbahas apa kok sering-sering kumpul?” Begitu ungkapan Pak Rahmat ketika bercerita di depan kami. Beliau sendiri ragu. Apa yang mau dibahas kok sering-sering kumpul.
Pertanyaan di atas terjawab oleh waktu. Pembahasan dalam setiap pertemuan muncul secara otomatis. Artinya, jawaban pertanyaan “apa yang mau dibahas” itu hadir sesuai kondisi yang dihadapi. Pengalamannya, berangkat rapat di awal-awal pertemuan itu tidak memiliki hal-hal yang dibahas. Baru setelah bertemu pembahasan itu muncul. Yaitu ketika antar pimpinan saling mengungkapkan permasalahan yang ada.
“Semakin banyak kumpul, semakin banyak PR,” begitu katanya. Persoalan yang dibahas minggu ini mungkin hanya satu. Tapi setelah bertemu, persoalan yang dibahas muncul menjadi tiga atau empat. Terkadang dalam sekali pertemuan ini tidak semua persoalan dapat dicarikan solusi. Akhirnya, ada istilah PR (Pekerjaan Rumah) di antara pimpinan harian PRM Gunungpring.
Ternyata, “Malam Jumat Bermuhammadiyah” ini menjadi kunci bagi PRM Gunungpring untuk mengembangkan diri. Persoalan berat sampai ringan dibahas disini. Semuanya terbuka. Hingga muncul paradigma, pokoke “kudu kumpul”. Persoalan-persoalan dan PR-PR yang ada harus dirembug dengan gembira. Bapak-bapak ini sadar, gembira adalah ciri ber-Muhammadiyah.
Sementara itu, kegembiraan harus diciptakan. Perasaan gembira tidak muncul tiba-tiba. Maka ini menjadi persoalan yang perlu dipecahkan juga. “Bagaimana agar perasaan gembira muncul saat kumpul dan rapat?” Harapannya, perasaan gembira muncul saat membahas persoalan yang paling berat sekalipun.
Lahirlah keputusan yang unik. Keputusannya: setiap kali kumpul harus makan enak. Hingga akhirnya ada keputusan tidak tertulis. Tuan rumah rapat harus menyediakan makanan paling enak. Makanan yang paling enak di rumahnya harus disajikan di Malam Jumat Bermuhammadiyah. “Kalau di pak A, pasti sajiannya Soto Betawi. Kalau di Pak B, itu pasti Mangut,”
“Anggaran sekali rapat itu Rp 300.000,” kata Pak Rahmat. Pak Rahmat lantas melanjutkan ceritanya, “ada teman saya yang ‘protes’, anggaran untuk makan saja kok banyak banget.”
“Sek sek sek.” Pak Rahmat pun menyampaikan argumentasinya. Uang makan senilai Rp 300.000 itu dibayarkan dengan sistem arisan. Arisannya diwujudkan dalam bentuk sajian makanan. Sajian ini pun dinikmati sendiri. Bergantian dari satu rumah ke rumah lainnya. Uniknya. ini adalah arisan makan yang pesertanya bapak-bapak, bukan ibu-ibu.
Pak Rahmat pun melakukan rasionalisasi atas dana konsumsi rapat ini. Selama kepengurusan PRM Gunungpring telah terjadi rapat selama 295 kali. Bila dirunut, sejak tahun 2016 hanya terjadi beberapa kali penundaan rapat. Tertunda karena bebarengan dengan Idul Fitri, Idul Adha dan pandemi Covid-19.
Biaya konsumsi rapat beberapa tahun ini dihitung. Proses perkalian terjadi, yaitu 295 pertemuan dikali Rp 300.000. Hasilnya kurang dari 90 juta. Boleh lah dibulatkan menjadi 90 juta. Tapi apakah bilangan 90 juta rupiah ini sebanding dengan pencapaiannya?
Sebanding atau tidak, sangat tergantung dari perspektif setiap orang. Tapi kenyataannya, sekian kali rapat itu kini menghasilkan aset senilai 60 Milyar. Penghitungan aset ini pun sangat minimal. Contohnya, aset tanah per meternya hanya dihitung dengan bilangan 1 juta/meter. Padahal banyak aset tanah (yang totalnya 27.500 meter persegi itu) yang berada di wilayah ranting Gunungpring berada di lokasi strategis. Otomatis nilainya lebih dari itu.
PRM Gunungpring juga mengelola Amal Usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan. PRM Gunungpring mengelola sekolah jenjang TK, SD, SMP dan SMA. Semuanya merupakan sekolah unggulan. Hingga saat ini tercatat lebih dari 1.500 anak yang menjadi peserta didik aktif di berbagai sekolah tersebut.
Operasional berbagai sekolah tidak dapat lepas dari peran guru dan karyawan. PRM Gunungpring sangat memperhatikan guru dan karyawan yang berada di amal usahanya. Selama satu tahun anggaran, PRM Gunungpring mengelola dana 3,6 miliar rupiah untuk gaji guru dan karyawan.
Beberapa amal usaha yang ada di Gunungpring menawarkan layanan antar jemput. Hingga kini PRM Gunungpring memiliki 17 mobil antar jemput. Selain itu, ada inventaris 3 mobil yang difungsikan sebagai mobil dakwah. Ini menjadi aset bergerak milik persyarikatan.
PRM Gunungpring juga memiliki amal usaha berupa tempat ibadah. Tercatat, terdapat 7 masjid yang dikelola ranting. Selain itu ada 4 mushola yang berada PRM yang juga berada di wilayah administratif desa Gunungpring.
Catatan aset, pengelolaan anggaran dan keberadaan Amal Usaha Muhammadiyah di lingkungan gunungpring membuktikan kalau Muhammadiyah di Gunungpring mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan ini terjadi ketika para pimpinan ranting sering kumpul. Kumpul-kumpulnya pun dihiasi dengan sajian makanan enak. Yang mana kemudian muncul semboyan “kumpul, kembul, thukul.”
“Thukul”-nya (dalam bahasa Indonesia disebut tumbuhnya) ranting Muhammadiyah Gunungpring ini senantiasa melaju. Kini Ranting Muhammadiyah Gunungpring memiliki berbagai macam AUM yang tersebar di 9 dusun. Artinya, masih terdapat dua dusun di wilayah administratif desa Gunungpring yang belum ketempatan Amal Usaha Muhammadiyah.
Walau kini, baru saja ada wakaf tanah seluas 1.200 meter persegi. Tanah wakaf ini letaknya berada di dusun Gunungpring. Hingga saat ini, tersisa satu dusun di wilayah desa Gunungpring yang belum dihiasi dengan AUM/aset Muhammadiyah.
Kumpulan sebagai Basis Kekuatan Berjamaah
Narasi di atas memperlihatkan bagaimana suatu pertemuan rutin dapat menghasilkan produktivitas. Lantas bagaimana PRM Gunungpring menciptakan situasi dan kondisi yang membuat anggota pimpinannya mau berkumpul setiap minggu? Mengapa setiap pengurus pleno PRM mau berkumpul dan membahas berbagai macam masalah?
Bahkan terkadang masalah itu tidak dapat terpecahkan seketika. Yang mana seringkali membuat para anggota pleno membahasnya kembali begitu sampai di rumah. “Rapat ini seringkali membekas. Buktinya, setiap kali rapat ditutup atau dibatasi sampai jam 22.00 WIB, pembicaraan masih berlanjut sampai pukul 22.30 WIB.” Pak Rahmat pun sering merasa iba terhadap anggota-anggota pleno yang lain.
“Saya seringkali memeriksa, setelah rapat itu Bapak-bapak masih online. Bahkan ada yang sampai dini hari,” ungkap Pak Rahmat. Sebagai ketua, Pak Rahmat seringkali meminta mengirim pesan singkat ke anggotanya. “Pun, pak, le mikirke Muhammadiyah ngenjang malih. Sakniki sare.” Kenyataannya, para anggota pleno PRM memilikirkan Muhammadiyah sampai dini hari.
Saya mencatat setidaknya ada empat faktor kunci lain, selain seringnya berkumpul. Pertama, komitmen untuk tidak mundur. Pak Rahmat ketika awal terpilih sebagai ketua ranting, tidak begitu saja menyanggupinya. Ia tidak memberikan jawaban atas hasil musyawarah ranting itu selama dua minggu lamanya. Bahkan ia seringkali tidak bisa tidur di dua minggu terakhir itu. Berat badannya pun turun.
Hingga akhirnya, Pak Rahmat bersedia dengan satu syarat. Tujuh orang pleno pimpinan ranting tidak boleh mundur. Apapun yang terjadi. Harus selalu kumpul. Anggota pleno ini hanya boleh mundur ketika menemui dua hal. Yaitu kalau memang diminta mundur saat musyawarah ranting dan/atau Allah SWT memang memisahkan kita selama-lamanya. Komitmen ini terbukti efektif. Tidak ada satupun pleno pimpinan ranting yang mengundurkan diri hingga saat ini. Eh, malah jumlahnya bertambah.
Kunci kedua yang dapat kita pelajari adalah adanya prinsip “lebih baik menambah daripada mengurangi atau berkurang.” PRM Gunungpring ini memang berbeda. Awalnya jumlah pimpinan sama seperti yang termaktub dalam peraturan persyarikatan. Jumlah pengurus ranting ada tujuh.
Akan tetapi, PRM Gunungpring cenderung untuk menambah “tenaga”. Hingga kini mereka memiliki anggota inti sejumlah 10 orang. Orang-orang inilah yang menjadi pengurus inti PRM Gunungpring. Tiga orang yang ada ini ditambahkan sesuai situasi kondisi. Jadi, tidak langsung menambahkan 3 orang, tapi satu per-satu.
Ketiga, PRM Gunungpring mengedepankan prinsip “Ketenangan, Kedamaian, dan Kenyamanan”. PRM Gunungpring menyadari kewajiban mereka untuk melindungi segenap warga Muhammadiyah yang berada di wilayah Gunungpring. Warga Muhammadiyah di Gunungpring jumlahnya tidak sampai 10% dari total penduduk desa Gunungpring. Kurang lebih hanya ada 1.500 orang yang merupakan simpatisan, warga dan kader Muhammadiyah.
Maka dari itu, PRM Gunungpring sangat menghindari konflik. Baik konflik vertikal dengan struktur pimpinan Muhammadiyah di atasnya, namun juga menghindari konflik horizontal dengan masyarakat umum. “Konflik seringkali melupakan inti perjuangan,” begitu kata Ketua Ranting Muhammadiyah Gunungpring tapi ber-KTP Borobudur ini.
Kenyataannya, konflik seringkali mengaburkan dari fokus yang ada. Konflik membuat kita lebih memikirkan pihak lawan. Hingga membuat kita lupa pada diri sendiri. Konflik juga menguras energi. Padahal energi yang ada dapat diarahkan untuk pengembangan persyarikatan. Maka PRM Gunungpring sering berada pada posisi “mendinginkan” suasana daripada memanaskan suasana.
Terakhir, faktor kesuksesan yang keempat terletak pada ketepatan dalam memilih makna kata “pengurus”. Memang pemaknaan ini terkesan “otak-atik gathuk.” Tapi ini malah mencerminkan makna yang sebenarnya. Pengurus artinya “mempeng le ngurus.” Pengurus bukan penguras.
Makna ini berdampak pada pemosisian diri para pimpinan ranting. Sedari awal terbentuk PRM, mereka tidak memposisikan sebagai obyek yang dilayani oleh berbagai AUM. Tidak juga memosisikan untuk menguras berbagai macam aset dan sumber daya yang sudah ada.
Akan tetapi, mereka memposisikan diri sebagai pelayan AUM. Para pimpinan pleno mencoba untuk “mempeng”. Maksudnya selalu bersemangat dalam mengurus ranting Muhammadiyah ini.
Forum berkumpul “Malam Jumat Bermuhammadiyah” ini juga menjawab pertanyaan dalam hati saya. Saya awalnya membayangkan bagaimana seorang Pak Rahmat mengelola waktunya. Bukankah beliau harus meluangkan waktu untuk mengurus beberapa toko besi, bisnis lainnya dan juga rumah tangga.
Ternyata pengelolaan waktunya ada pada meluangkan satu malam khusus untuk Muhammadiyah. Disini kita juga dapat belajar bagaimana mengelola kehidupan diri, terutama agar “kendhil ora ngguling” ketika mengurus Muhammadiyah. Otomatis terdapat malam-malam yang lain untuk urusan pribadi, keluarga, bisnis, bahkan menjadi anggota masyarakat lainnya tanpa mengesampingkan tugas dan kewajiban di Persyarikatan. Pengkhususan waktu terbukti menciptakan fokus dan kenyamanan bagi semuanya.
Terima kasih ilmu dan pengalamannya. Sering kumpul sembari kembul, pasti akan thukul. Semangat dan selalu bergembira dalam ber-Muhammadiyah!
Sebuah catatan Rahma Huda Putranto, S.Pd., M.Pd. (Ketua PCPM Borobudur) setelah mendengarkan ulasan Pak Rahmat Abdul Ghani di Kantor PCM Muntilan, Senin, 16 Januari 2023.