Pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 pada 25 Januari 2025 bukan sekadar pergantian kekuasaan biasa. Momentum ini menandai sebuah titik balik dalam sejarah politik global, di mana kekuatan tradisional bersatu dengan oligarki teknologi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagai seorang pengamat yang mengikuti perkembangan politik global dari perspektif gerakan Islam modernis, penulis melihat fenomena ini membawa tantangan sekaligus peluang bagi masa depan peradaban.
Kehadiran tiga orang terkaya dunia — Elon Musk, Jeff Bezos, dan Mark Zuckerberg — dalam pelantikan Trump bukanlah sekadar simbolisme kosong (Sorongan, 2025). Ini adalah manifestasi nyata dari pergeseran fundamental dalam struktur kekuasaan global. Peringatan terakhir Biden tentang demokrasi Amerika yang “tergelincir menjadi oligarki” para miliarder teknologi kini terasa semakin nyata dan menggema jauh melampaui batas-batas Amerika.
Transisi kekuasaan ini menandai pergeseran paradigma dalam tata kelola global, di mana batas antara kekuatan politik tradisional dan korporasi teknologi semakin kabur. Para titan teknologi tidak lagi sekadar menjadi pemain di bidang ekonomi, tetapi telah bertransformasi menjadi kekuatan politik yang signifikan dengan pengaruh yang melampaui batas-batas negara. Fenomena ini membawa implikasi mendalam bagi masa depan demokrasi dan keadilan sosial di seluruh dunia.
Dalam konteks global yang semakin kompleks ini, peran gerakan Islam modernis seperti Muhammadiyah menjadi semakin krusial. Sebagai organisasi yang sejak awal berdirinya telah berkomitmen pada pembaruan dan kemajuan, Muhammadiyah dituntut untuk merespons dinamika baru ini dengan pendekatan yang komprehensif dan visioner.
Sebagai bagian dari gerakan Muhammadiyah, penulis melihat situasi ini melalui lensa tajdid (pembaruan) yang selama ini menjadi ruh gerakan Islam modernis. Prinsip pembaruan yang diusung Muhammadiyah sejak awal berdirinya justru menjadi semakin relevan di era di mana teknologi dan politik berkelindan begitu erat. Tantangannya bukan lagi sekadar bagaimana mengadaptasi modernitas, tetapi bagaimana tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial di tengah arus perubahan yang begitu cepat (Hidayat, 2023).
Konsep tajdid dalam konteks era digital perlu dipahami secara lebih luas dan mendalam. Pembaruan tidak hanya mencakup aspek teknologi dan metodologi, tetapi juga meliputi pembaruan cara berpikir dan pendekatan dalam menghadapi tantangan kontemporer. Muhammadiyah, dengan tradisi pembaruannya yang kuat, memiliki modal sosial dan intelektual yang diperlukan untuk mengembangkan respons yang tepat terhadap tantangan era digital.
Fenomena Trump dan aliansinya dengan para titan teknologi menghadirkan dilema bagi gerakan Islam modernis seperti Muhammadiyah. Di satu sisi, semangat kemajuan yang menjadi DNA Muhammadiyah mendorong kita untuk merangkul perkembangan teknologi dan modernisasi. Namun di sisi lain, konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar di tangan segelintir elit — baik politik maupun teknologi — bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang juga menjadi pilar penting gerakan ini.
Dilema ini menjadi semakin kompleks ketika kita mempertimbangkan peran ganda teknologi dalam masyarakat kontemporer. Di satu sisi, teknologi telah membuka peluang-peluang baru untuk dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Di sisi lain, dominasi platform-platform digital oleh segelintir perusahaan besar menciptakan ketergantungan dan potensi eksploitasi yang perlu diwaspadai.
Prinsip wasathiyah (moderasi) Muhammadiyah menawarkan panduan yang berharga dalam menyikapi situasi ini. Moderasi bukan berarti bersikap pasif atau mengambil jalan tengah secara membabi buta, melainkan kemampuan untuk melihat kompleksitas situasi dan mengambil posisi yang tepat berdasarkan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan. Dalam konteks era Trump dan dominasi teknologi, ini berarti kita harus mampu memanfaatkan kemajuan teknologi sambil tetap kritis terhadap potensi penyalahgunaannya untuk kepentingan segelintir elit.
Pendekatan wasathiyah ini perlu diimplementasikan dalam berbagai aspek gerakan Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan, misalnya, perlu ada keseimbangan antara penguasaan teknologi dan penguatan nilai-nilai moral. Dalam aktivitas dakwah, penggunaan platform digital perlu diimbangi dengan penguatan interaksi langsung dengan masyarakat. Dalam bidang ekonomi, pemanfaatan teknologi untuk pemberdayaan ekonomi umat harus disertai dengan upaya menjaga kemandirian dan menghindari ketergantungan berlebihan pada platform-platform digital besar.
Islam Berkemajuan yang diusung Muhammadiyah mengajarkan bahwa kemajuan teknologi harus sejalan dengan peningkatan kualitas kehidupan manusia secara menyeluruh (Nashir, 2022). Ketika Trump menunjuk Musk untuk memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah, kita bisa melihat potensi positif dari integrasi teknologi dalam tata kelola pemerintahan. Namun, efisiensi tidak boleh mengorbankan aspek kemanusiaan dan keadilan sosial yang menjadi inti dari ajaran Islam.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah perlu mengembangkan model-model alternatif dalam pemanfaatan teknologi yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan. Ini bisa mencakup pengembangan platform-platform digital yang dikelola secara kolektif, penguatan ekonomi digital berbasis komunitas, dan pengembangan sistem pendidikan yang memadukan keunggulan teknologi dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
Tantangan ke depan bagi gerakan Islam modernis seperti Muhammadiyah adalah bagaimana mengembangkan model pendidikan yang memadukan nilai-nilai keislaman dengan kompetensi teknologi. Kita perlu mencetak generasi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki fondasi moral dan spiritual yang kuat. Inilah yang bisa menjadi kontribusi nyata Muhammadiyah dalam menghadapi era baru yang kompleks ini.
Model pendidikan yang dikembangkan harus mampu menjawab tantangan ganda: menghasilkan lulusan yang kompetitif secara global sekaligus memiliki karakter yang kokoh. Ini mencakup pengembangan kurikulum yang integratif, metode pembelajaran yang inovatif, dan sistem evaluasi yang komprehensif. Penguatan nilai-nilai Islam progresif dalam pendidikan menjadi kunci untuk mempersiapkan generasi yang mampu menghadapi kompleksitas era digital dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip keislaman.
Di tengah ketidakpastian global yang meningkat, prinsip-prinsip Muhammadiyah tentang moderasi, pembaruan, dan kemajuan menjadi semakin relevan. Namun, implementasinya membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas tantangan kontemporer dan keberanian untuk mengambil posisi yang tepat, meski terkadang tidak populer.
Sebagai penutup, penulis meyakini, bahwa masa depan Islam dan demokrasi di era digital akan sangat bergantung pada kemampuan kita untuk menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Muhammadiyah, dengan warisan pembaharuan dan moderasinya, memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi dalam mencari keseimbangan ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk terus melangkah maju sambil tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip fundamental yang telah menggerakkan organisasi ini selama lebih dari satu abad.
Langkah-langkah konkret yang perlu diambil mencakup penguatan literasi digital di kalangan warga Muhammadiyah, pengembangan platform-platform digital alternatif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan peningkatan kapasitas organisasi dalam menghadapi tantangan era digital. Semua ini perlu dilakukan dengan tetap mempertahankan identitas sebagai gerakan Islam progresif yang berkomitmen pada pembaruan dan kemajuan.
Reference
Hidayat, I. N. (2023, Juli 8). Sejarah Muhammadiyah: Gerakan Islam modern di Indonesia. Dalam Mathuad Publishing.
Nashir, H. (2022, Oktober 29). Islam berkemajuan. Republika.
Sorongan, T. P. (2025, Januari 20). Tiga orang terkaya dunia bakal hadiri pelantikan Trump hari ini. CNBC Indonesia.