Suryagemilangnews.com, Lombok. Gempa Lombok yang terjadi beruntun dan terbesar pada tanggal 5 Agustus 2018 berkekuatan 7 SR telah mengoyak kehidupan warga pulau Lombok, NTB. Jumlah korban meninggal mencapai 466 orang, ribuan luka-luka, begitu pula kerusakan bangunan rumah warga jumlahnya juga banyak.
Kondisi warga di daerah-daerah yang terdampak paling parah sungguh memprihatinkan. Seperti warga dusun Melepahsari, Dangiang, Kayangan, Lombok Utara, berdasarkan kesaksian Joko Ketua MDMC Kalibening, Banjarnegara, rumah mereka nyaris tidak ada yang utuh lagi. Sehingga terpaksa mendirikan tenda-tenda di sekitar reruntuhan rumah mereka sendiri.
Yang tak kalah dahsyat adalah akibat gempa bagi kondisi kejiwaan warga
terdampak. Meski tidak nampak, namun trauma menjadi luka jiwa yang butuh waktu cukup lama untuk menyembuhkan terlebih lagi bila ada keluarga menjadi korban meninggal dunia. Oleh karena itu menjadi standar operasional dalam setiap tanggap bencana ikut diterjunkan tim psikososial di lapangan. Tugas tim ini utamanya adalah memberi pendampingan psikologis bagi masyarakat terdampak bencana agar bisa segera pulih dari trauma yang dialami. Sementara sasarannya adalah semua kelompok masyarakat, namun biasanya lebih diutamakan terhadap kelompok paling rentan yaitu anak-anak dan remaja tergantung situasi yang dihadapi.
Untuk upaya tanggap gempa Lombok ini, berdasarkan infografis yang dirilis MDMC
diterjunkan 109 orang relawan tim psikososial yang berasal dari berbagai MDMC daerah dan universitas-universitas Muhammadiyah. Tim psikososial ini disebar di titik-titik layanan penyintas seperti di Lading-Lading kecamatan Tanjung, Melepahsari kecamatan Kayangan, Lekok kecamatan Gangga di Lombok Utara kemudian di Sajang, Karya dan Lendang Luar yang semuanya di Kecamatan Sembalun Lombok Timur.
Dalam kerjanya tim psikososial ini biasanya akan mendatangi dan mengumpulkan warga terdampak terutama anak-anak dan remaja. Kelompok ini sangat rentan mengalami trauma karena kondisi kejiwaan yang belum matang masih belum bisa mengantisipasi secara psikologis pengalaman-pengalaman menakutkan yang mereka alami saat bencana terjadi. Saat dikumpulkan tersebut tim psikososial akan mengajak anak-anak untuk bermain sebagai ikhtiar untuk relaksasi mental mereka agar tidak dirundung ketakutan terus menerus. Secara administratif anak-anak juga akan didata identitas diri mereka, kebutuhan-kebutuhan dan aspek lain yang mungkin bisa digali. Selain diajak bermain, anak-anak juga diajak untuk “sekolah” dan mengaji. Sekolah yang dimaksut tentu dalam situasi yang sangat berbeda dengan sekolah aslinya karena jelas mereka tidak belajar di gedung sekolah mereka yang telah hancur, tapi di tenda-tenda penampungan dan fasilitas seadanya jauh dari layak untuk dikatakan sebagai sekolah. Paling tidak dengan berbagai aktifitas yang dijalani oleh anak-anak dan remaja para penyintas gempa, diharapkan mengurangi beban trauma mereka. (jap)
Semangat kawan2