“Bajiroet !” umpat Paijo sambil membanting korannya. Pengunjung warung Kopi Yu Paijem hanya mampu saling pandang melihat kelakuan Paijo yang marah-marah tak tahu juntrungnya.
“Ada apa tho Jo ?” tanya dulkamndi memberanikan diri.
“Kopine Yu !” pinta Paijo pada Yu Paijem seolah tak menggubris pertanyaan Dulkamndi.
“Dasar cah budheg !” umpatDulkamndi menaggapi ulah Paijo yang tak menjawab pertanyaannya. Paijo hanya tersenyum ke arah Dulkamndi sambil menikmati kopi pesanannya.
“”Reformasi itu khan maunya ingin memperbaiki tatanan berbangsa dan bernegara, lha kok kini situasinya tambah semakin tidak karuan-karuan !” lagi-lagi Paijo meracau bagai orang kesurupan. Tak ada hujan tak ada badai tiba-tiba Paijo memperkarakan orde reformasi yang sudah berjalan dua dasa warsa ini.
“Orde reformasi memang tengah membudidayakan permasalahan bagi kita semua.” “Pertama bahwa orde reformasi telah membawa arah demokrasi kita ke arah demokrasi liberal yang transaksional dan berbiaya tinggi.” “Akibatnya terjadi budaya transaksional baik di dalam level politik, ekonomi, sosial dan budaya.” “Dan korupsi adalah akibat umum yang tidak terelakkan, mulai dari korupsi uang sampai korupsi waktu.” “Korupsi ini menurutku telah sampai pada level darurat yang harus segera diatasi.” “Kedua bahwa orde reformasi telah menciptakan dualisme-dualisme yang saling berhadap-hadapan, berkompetisi dan saling meniadakan.” “Logika oposisi dan non oposisi seolah menjadi narasi utama kehidupan masyarakat.”
“Lihat saja aroma pilpres 2 perjiode ini.” “Pilpres seolah menjadi sebab segala sebab sehingga perlu diperjuangkan hingga mati.” “Ketiga adalah gejala media massa mainded atau bisa dikatakan bias media massa akibat majua teknologi informasi.” “Benar menurut media maka benar pula kata kita” “Ibaratnya volks TV volks Dei.” “Barang siapa menguasai media massa maka dipastikan ia akan menguasai segalanya.” Tiba-tiba Kang Sarmin berkhotbah panjang lebar. Lagi-lagi semua pengunjung warung dibuat terhipnotis. Kang Sarmin atau Mas Guru Sarmin adalah Wartawan yang sangat kaya informasi. Konon Mas Guru Sarmin juga adalah ppeneliti di salah satu lemlit bonafide.
“Betul katamu Kang !” “Negeri yang kita cintai bersama ini tengah sekarat kang terutama pada pengelolanya.” “Kalo rakyatnya menurutku tak separah para aparaturnya Kang.” Dulkamndi menyahut lebih semangat.
“Menikmati situasi reformasi yang carut marut ini rakyat kita teriris menjadi 3 potongan besar.” “Pertama kelompok romantikisme yaitu kelompok yang menginginkan kembalinya zaman pra reformasi.” “Kelompok ini terbagi dalam beberapa faksi, diantaranya menginginkan kembalinya orde lama atau bahkan orde baru yang banyak dihujat itu..” “Kelompok kedua adalah kelompok dekonstruksionisme yaitu kelompok ingin meruntuhkan segala hal yang beraroma reformasi.” “Pendek kata reformasi harus diruntuhkan dan kita harus meloncat ke jaman post reformasi yang benar-benar baru dan kinyis-kinyis.” “Kelompok ketiga adalah kelompok revisionisme.” “Kelompok ini beranggapan bahwa tidak semua orde reformasi menjadi sumber petaka, meskipun membudidayakan permasalahan tetap saja orde reformasi ini memiliki berbagai keunggulan.” “Sehingga perlu diadakan revisi di sana-sini agar lebih baik.” Suara Mat Klowor menimpali sambil menyantap Kupat Tahu sajian istimewa warung Yu Paijem malam itu. Wajah Mat Klowor tampak berpeluh keringat karena kepedasan. Suaranya yang cempreng membuat yang mendengar selalu tersenyum. Seserius apapun apa yang disampaikan Mat Klowor bagi mereka yang mendengar selalu terdengar lucu. Mungkin karena Mat Klowor adalah pemain ludruk sehingga para pengunjung selalu mengidentikkan Mat Klowor dengan peran-perannya yang klowor di pentas ludruknya.
“Kadingaren sampeyan pinter kayak mbah dukun Mat?” seloroh Lik Karto meledek Mat Klowor.
“Dasar Wedhus gudigen !” balas Mat Klowor sambil melempar bungkus rokok ke arah Lik Karto. Dan Lik Karto hanya tertawa terbahak-bahak.
“Kita memang harus mencari jalan keluar atas kemelut orde reformasi ini.” “Gamblang aku saiki.” Kata Paijo sambil menepuk pundak Mat Klowor. Mat Klowor hanya geleng-geleng kepala sambil berucap lirih.
“Selamat Berjuang sahabatku, semoga istiqomah!”
Mendengar ucapan Mat Klowor Paijo sempat menitikkan air mata haru. Mat Klowor memang tahu betul betapa sulitnya jalan yang dilalui Paijo sebagai pekerja politik.
Noerjoso, Rumah Joglo Kesaktian Pancasila 2018