Di luar hujan masih mengguyur pedukuhan Margomulya. Hawa dingin menembus lewat lubang-lubang dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Namun begitu tidak mengurangi kehangatan perbincangan dua bersaudara seperguruan itu.
”Apakah tidak sebaiknya Rayi Kyai membangun pesantren ini menjadi pesantren modern” Kata Kyai Syukur kepada Kyai Hadi adik seperguruannya tatkala nyantri di pesantren Karang Gede.
”Sejak pesantrenku aku ubah kini santriku telah mencapai ribuan santri. Bukan hanya itu saja, akupun kini diberi kedudukan sebagai staf ahli menteri. Insya Allah dengan kedudukan dan kekayaanku sekarang ini, dakwahku semakin mudah karena orang tidak lagi memandang sebelah mata padaku. Tidak seperti dahulu tatkala pesantrenku masih hanya sekedar gubug-gubug dari bambu dan alang-alang seperti punyamu ini”
Kyai Hadi mendengar penuh hormat nasehat kakaknya. Tak sedikitpun beluau berani menatap wajah kakaknya. Baru setelah Kyai Syukur berhenti berbicara Kyai Hadi memberanikan diri mengangkat wajahnya sembari mempersilahkan ubi rebus hangat dan the tawar hangat.
”Mohon maaf sebelumnya Kangmas ! Aku ada sedikit pertanyaan sebelum aku jawab semua nasehat Kangmas Kyai Syukur”
”Silahkan Rayi ! Semoga aku bias menjawabnya”
”Andai saja kemegahan rumah dapat menjadi wasilah berkembangnya Islam, mengapa Kanjeng Nabi hanya tinggal di gubug samping Masjid Madinah. Mengapa beliau tidak membangun istana yang megah agar kaum kafir sungkan kepada beliau, Apakah kita ini lebih mulia ketimbang Kanjeng Nabi ?”
”Bukankah Kangmas juga tahu alas tudur beliau hanyalah anyaman daun kurma. Bahkan beliau seringkali harus berpuasa karena tidak punya makanan sedikitpun.”
”Kalaulah kekuasaan dan jabatan maslahat untuk agama Allah, tentulah Kanjeng Nabi sudah melakukannya. Bukankah yang terjadi justru sebaliknya. Beliau lebih memilih orang-orang melarat di Makkah tapi bersungguh-sumgguh menyambut dakwah beliau ketimbang mendatangi pembesar-pembesar Makkah yang masih belum tentu. Apakah kita ini lebih hebat dari beliau?”
”Jangankan dengan Kanjeng Nabi. Dengan sahabat Umar saja kita masih jauh. Namun begitu Amirul Mukminin itu hanya punya 1 gamis. Hingga suatu hari beliau terpaksa terlambat memimpin sholat Jumat karena satu-satunya gamis yang dimilikinya belum kering karena dicuci.”
Hujan semakin deras mengguyur pedukuhan Margomulya mengiringi renungan kedua bersaudara yang kini telah jauh berbeda bagaikan siang dan malam. Di langgar para santri mendendangkan shalawat dengan rasa cinta dan ikhlas
noerjoso, serambi TPA Ummu Kamal 2018