Kabar duka untuk kesekian kali hadir, seorang aktivis dakwah par excellent pergi meninggalkan kita. Pak Yusuf kami biasa memanggilnya, salah satu ponggawa Muhammadiyah yang gigih dalam aktivitas dakwah, gaya ceramahnya santai, renyah, dibumbui guyonan yang sangat khas dengan kultur Jawa. Sesekali letupan pemikirannya sering keluar dari kotak kelaziman, pemahamannya unik, menggelitik dan tentu saja menarik.
Saya pribadi mengenal beliau cukup lama, saat masih eksis di Pemuda Muhammadiyah. Pak Yusuf bukanlah pemimpi besar, beliau lebih memilih memikirkan banyak hal dengan tensi realistis, tidak muluk-muluk namun terlaksana. Kadang-kadang terkesan sekenanya, tetapi keistiqomahan di jalan dakwah tidak perlu dipertanyakan.
Tepat pukul 13.00 jenazah dipersiapkan untuk diberangkatkan ketempat peristirahatan terakhir. Pembawa acara memberi pengantar dan menjabarkan singkat tentang profil Pak Yusuf. Setelah itu melanjutkan acara dengan menyerahkan kepada Ustadz Jumari selaku Ketua PDM Kab. Magelang untuk memberikan sambutan.
Tangis jama’ah pecah ketika melihat Pak Jumari tidak mampu melafalkan sepatah katapun saat di daulat untuk memberikan sambutan. Saya baru pertama kali melihat pemandangan semacam itu. Rasanya bukan kebiasaan Pak Jumari memperlihatkan kesedihan yang begitu dalam, air matanya tak terbendung, hatinya mungkin remuk , lidahnya menjadi kelu, sehingga untaian kalimat yang biasa mengalir sama sekali tidak keluar dari mulutnya.
Saya termasuk salah satu jama’ah yang larut dalam suasana penuh kesedihan itu. Pak Jumari jelas bukan saudara kandung, tidak ada pertalian darah di antara mereka, namun kesedihan yang begitu dalam itu pasti menyimpan makna. Keduanya sesungguhnya diikat oleh tiga hal sekaligus. Pertama, ikatan persahabatan yang tulus, usia yang sepadan menjadikan dua tokoh ini mengalami sejarah panjang perjumpaan dan pergumulan pemikiran dalam satu wadah perjuangan. Kedua, persahabatan yang diikat di atas pertalian aqidah.
Sebagaimana nasehat seorang ulama besar bernama Hasan Basri, beliau pernah mengatakan “ persahabatan yang diikat di atas pertalian aqidah itu lebih utama dibandingkan persahabatan yang diikat di atas pertaliah darah. Rasanya tangis itu mengisyarakat kedalaman ikatan teologis dua orang sahabat. Pak Yusuf seolah ingin mengatakan “ Pak Jumari tugasku purna sampai di sini, tetap lanjutkan perjuangan, dan suatu saat nanti semoga kita dipertemukan Allah dalam tempat bertemunya orang-orang yang syahid di jalanNya”. Ketiga, persahabatan di jalan dakwah. Tidak perlu diragukan lagi keduanya adalah manusia penggerak diwilayahnya masing-masing, manusia yang berdiri, duduk dan tidurnya untuk dakwah, manusia yang sudah terbiasa berfikir bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan Muhammadiyah dan kepentingan Islam.
Sungguh indah persahabatan semacam itu, jauh dari gemerlapnya harta, menterengnya prestasi, traksaksional yang menjemukan, ataupun jeratan birokrasi duniawi yang membodohkan. Semua mengalir sempurna dalam rentang takdir sejarah persahabatan yang dipupuk dengan iman dan keihlasan. Pak Yusuf tidak pernah berhenti memberikan pelajaran kepada orang lain, bahkan saat jenazahnya akan dikebumikan pelajaran itu masih engkau sisipkan lewat tangis kehilangan dari para sahabatmu. Seberapa besar kami kehilangan atas kepergianmu..? Cukup tangis Pak Jumari yang mengambarkannya. Selamat jalan Pak Yusuf. Berbahagialah dalam perjalanan menuju keabadian.