Oleh : Sapari*
Seperti yang sudah tersebar di berbagai media sosial, hari ini 25 November 2019 Mendikbud Nadiem Makarim memberikan pidato pertamanya untuk perayaan Hari Guru Nasional. Dalam pidato yang singkat tersebut, Nadiem melakukan gebrakan yang belum pernah dilakukan oleh para menteri pendidikan sebelumnya yaitu lemparan gagasan dan otokritik terhadap dunia pendidikan Indonesia. Sebelum penulis sampaikan pendapat, ada baiknya membaca teks pidato Mendikbud Nadiem Makarim tersebut untuk lebih jelasnya di bawah ini :
Bapak dan Ibu Guru yang saya hormati…
Biasanya tradisi hari guru dipenuhi oleh kata-kata inspiratif dan retorika mohon maaf tapi hari ini pidato saya akan sedikit berbeda, saya ingin berbicara apa adanya dengan hati yang tulus kepada semua guru indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Guru Indonesia yang tercinta, tugas Anda adalah yang termulia dan yang tersulit, Anda ditugaskan untuk membentuk masa depan bangsa, tapi lebih sering diberikan aturan daripada pertolongan, Anda ingin membantu murid yang tertinggal di kelas, tapi waktu Anda habis mengerjakan tugas administratif, tanpa manfaat yang jelas.
Anda tahu betul potensi anak tidak bisa diukur dari hasil ujian, tapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan. Anda ingin mengajak murid keluar kelas, untuk belajar dari dunia sekitarnya, tapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.
Anda frustasi karena Anda tahu didunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi yang akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal. Anda tahu setiap anak mempunyai kebutuhan yang berbeda, namun keseragaman telah mengalahkan keberagaman, sebagai prinsip dasar birokrasi.
Anda ingin setiap murid terinspirasi, tapi Anda tidak diberikan kepercayaan untuk berinovasi. Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada Anda, perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan.
Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia. Tapi, perubahan tidak bisa dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dengan guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah. Ambillah langkah pertama. Besok dimanapun Anda berada, lakukan perubahan kecil di kelas Anda. Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar.
Berikan kesempatan murid untuk mengajar di kelas, cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas. Temukan suatu bakat dalam murid yang kurang percaya diri, tawarkan bantuan kepada guru yang sedang kesulitan.
Apapun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya secara serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti akan bergerak. Selamat Hari Guru, merdeka belajar….!! Guru Penggerak…!!
Sebagai Menteri Pendidikan termuda dan fenomenal sepanjang sejarah Republik Indonesia, pidato Nadiem Makarim memang berbeda dan patut diapresiasi karena berani melontarkan gagasan-gagasan baru nan segar sekaligus melakukan otokritik terhadap kondisi pendidikan Indonesia selama ini.
Otokritik Untuk Pendidikan Indonesia
Otokritik yang disampaikan Nadiem Makarim di atas yang meliputi poin-poin peraturan, tugas administratif, ujian, kurikulum, orientasi kepada hafalan dan penyeragaman pendidikan. Poin-poin tersebut selama ini sudah menjadi masalah-masalah besar pendidikan Indonesia yang masih sulit terurai hingga kini.
Sebuah kejutan karena Nadiem mengungkapkan otokritik yang sebenarnya merupakan uneg-uneg mayoritas guru di Indonesia. Betapa para guru selama ini direpotkan dengan peraturan yang cepat berubah dan tidak konsisten. Perubahan peraturan tidak jarang terjadi saat sebuah peraturan yang lalu belum berjalan dengan baik, sudah muncul peraturan baru yang menganulir peraturan lama. Baru saja para guru mau menyesuaikan diri dengan peraturan, ternyata peraturannya sudah diganti lagi. Padahal mengajar saja sudah menjadi menyita waktu dan beban tanggung jawab yang besar bagi para guru, apalagi ditambah dengan peraturan yang berubah-ubah.
Pendidikan berorientasi pada hafalan juga jadi masalah besar yang ikut menentukan karakter para siswa saat dewasa nantinya. Sejak usia SD para siswa di negeri ini sudah dijejali bermacam teori dari banyak pelajaran yang ternyata tidak mereka terapkan di dunia nyata. Terjadi kesenjangan lebar antara pelajaran di sekolah dengan dunia nyata.
Bandingkan dengan pendidikan dasar di negara-negara Barat yang lebih mengutamakan pengenalan lingkungan dan pendidikan karakter. Para siswa dari usia dini sudah diajari tentang kehidupan di sekitarnya dan karakter yang sangat dibutuhkan kelak saat dia dewasa. Para siswa juga diajari kemampuan untuk berinteraksi, berkolaborasi dan mengungkapkan gagasan sejak dini.
Output pendidikan karakter sejak dini tersebut saat para siswa dewasa mereka sudah fasih menerapkan karakter kedisiplinan, kejujuran, empati, penghargaan terhadap orang lain dan kemampuan mengungkapkan gagasan-gagasan. Semua itu ikut membentuk peradaban masyarakat Barat yang maju dan modern seperti kita lihat sekarang.
Administrasi Pembelajaran Yang Membelenggu
Keberanian Nadiem menyampaikan bahwa tugas administratif bagi guru tidak memberi manfaat yang jelas juga patut diapresiasi. Sudah jamak diketahui, bahwa para guru wajib mengerjakan berbagai tugas administrasi yang menyita waktu mereka antara lain RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), Silabus, penilaian yang dalam Kurikulum 2013 terkenal sangat ruwet, program tahunan dan program semester. RPP karena disusun per kompetensi dasar, bisa jadi terdiri dari berpuluh sampai ratusan halaman tergantung berapa pelajaran yang diampu sang guru, belum lagi silabus.
Itu belum seberapa karena para guru juga ada yang menjadi wali kelas dengan segala keruwetan administrasinya, kalau di SMK ada kaprodi, tugas panitia akreditasi dan tidak sedikit pula yang mengejar sertifikat ISO dengan biaya serta keruwetan penyusunan dokumen yang tak kalah njlimet meskipun tidak jelas juntrungnya karena mayoritas sertifikasi ISO di dunia pendidikan hanya seperti proyek saja.
Sampai sekarang, belum ada upaya kongkrit untuk menyederhanakan perangkat pembelajaran. Menurut keterangan salah seorang kolega guru di Yogyakarta yang pernah studi banding di Australia, disana RPP (lesson plan) yang dibuat guru cukup satu lembar saja.
Yang lucu lagi, penulis pernah punya pengalaman mengikuti workshop terkait kurikulum 2013 tapi semuanya terkait perangkat pembelajaran yaitu RPP. Para peserta workshop dibimbing untuk menyusun RPP menggunakan perangkat bernama Taksonomi Bloom untuk menyusun tujuan pembelajaran.
Menggunakan Taksonomi bloom untuk menyusun kalimat dalam tujuan pembelajaran bagi para guru sering menjadi kesulitan tersendiri dan ini baru tahap penyusunan RPP belum pembelajaran dalam kelas.
Fokus workshop yang hanya mengajarkan cara membuat perangkat pembelajaran (RPP) tersebut bisa diibaratkan seperti membuat senjata. RPP adalah senjatanya dan guru hanya dibimbing untuk membuat senjata itu sebaik mungkin, namun tidak diajari cara menggunakannya dengan baik, metode-metode yang tepat untuk menembak secara jitu bagaimana. Paling parah ketika senjata itu bermasalah saat dipakai, guru tidak dibekali kemampuan trobelshooting (cara mengatasi masalahnya).
Ironisnya perangkat pembelajaran menjadi salah satu syarat mutlak pencairan tunjangan sertifikasi guru sebagai pertanda guru sudah menjalankan tugasnya secara profesional. Jadi profesionalitas guru dalam program sertifikasi ini dilihat dari seberapa baik dan lengkap perangkat pembelajarannya bukan dari cara dia mengajar di kelas, menguasai tidak metode pembelajaran, lakukan inovasi tidak dan bagaimana cara dia menghadapi siswa bandel di kelas.
Tunjangan sertifikasi memang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, namun konsekuensinya guru harus membuat berbagai administrasi pembelajaran dan pencairan tunjangan yang kebanyakan tidak berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran secara langsung. Para siswa menjadi terabaikan karena para guru sibuk di mejanya masing-masing kerjakan administrasi.
Terlebih dalam prakteknya, RPP semua guru yang jika dikumpulkan tebalnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan halaman tersebut dalam praktiknya sulit menjadi acuan dalam mengajar karena berbagai kondisi yang dihadapi guru. Indikator suksesnya pembelajaran biasanya hanya materi selesai, para siswa bisa mengerjakan soal-soal ulangan dengan baik.
Selanjutnya kurikulum, ujian dan penyeragaman pendidikan di Indonesia yang sangat majemuk adalah persoalan-persoalan klasik yang tidak berujung penyelesaiannya sampai sekarang. Kurikulum yang sering berganti sehingga ada ungkapan “ganti menteri, ganti kurikulum”.
Ujian yang di masa lalu menjadi tolok ukur kelulusan dan prestasi siswa serta penyeragaman pendidikan yang menafikkan betapa masyarakat Indonesia sangat majemuk. Kurikulum dan soal ujian di Jawa yang sarana dan pra sarana pendidikannya lebih memadai tentu sebetulnya tidak cocok dengan kondisi Papua dengan segala keterbatasannya.
Semoga beberapa otokritik yang disampaikan Menteri Pendidikan tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai upaya kongkrit untuk melakukan perubahan mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia sehingga akan menjadi pendidikan yang memanusiakan manusia bukan sekedar pendidikan yang menjalankan mekanisme birokrasi semata. (Sapari, pernah jadi guru)