Suryagemilangnews.com. Thaharah dalam Islam menempati posisi mutlak bagi amal ibadah seorang muslim. Ibadah seorang muslim bisa diterima atau tidak tergantung salah satunya pada benar atau tidaknya dia bersuci atau melakukan thaharah. Jika bersuci nya benar maka ibadahnya sah, namun sebaliknya jika bersucinya tidak benar maka ibadah menjadi tidak sah.
Sedemikian pentingnya bersuci dalam Islam sehingga bisa dikatakan salah satu penentu masuk surga atau neraka juga tergantung dari cara bersuci ini. Bahkan ada hadist yang menerangkan seseorang mendapat siksa kubur karena tidak membersihkan air kencingnya dengan sempurna.
عَنْ أَنَسٍ , قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ : تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersihkanlah diri dari air kencing. Karena sesungguhnya kebanyakan siksa kubur berasal darinya.” [HR. Ad-Dȃruquthnȋ dalam Sunannya, no. 459. Dan hadits ini dinilai shahȋh oleh Syaikh al-Albani dalam Irwȃul Ghalȋl, no. 280]
Pembagian Jenis Thaharah
Thaharah dibagi menjadi dua macam yaitu thaharah hakiki dan thaharah hukmi, dengan pengertian masing-masing sebagai berikut :
1. Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis atau dengan kata lain bahwa thaharah hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.
Seorang yang sholat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki, ada najis yang menempel pada pakaiannya.
Cara melakukan thaharah hakiki adalah dengan menghilangkan najis yang menempel di badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah sholat.
Bagaimana caranya? Bermacam-macam tergantung level najisnya, apakah masuk kategori najis ringan, sedang atau berat. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang warna, bau dan rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi
Sedangkan thaharah hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah).
Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara pisik. Bahkan boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu’-nya, boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu’ bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi thaharah hukmi adalah kesucian non jasadiyah, bersifat immateriil yang berarti secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun karena kondisi dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah. Cara melakukan thaharah hukmi adalah dengan berwudhu’ atau mandi besar (janabah). (sapari)