Suryagemilangnews.com, Dalam Agama Islam, Hari Raya adalah momentum terpenting yang harus dirayakan dengan penuh suka cita dan rasa syukur. Baik Idul Fitri dan Idul Adha sama-sama memiliki makna tersendiri. Idul Fitri adalah perayaan umat Islam sebagai simbol kemenangan setelah melaksanakan puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Sedangkan, Idul Adha adalah sebagai hari raya kurban, mengingat kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Di dalam masyarakat, khusunya muslim Indonesia menyambut dan merayakan dengan penuh kebahagiaan dan beramai-ramai. Fenomena takbir keliling, menggemakan takbir setelah maghrib, isya, dan subuh serta diiringi oleh tabuhan bedug sehingga lebih terlihat meriah sebagai bentuk syiar.
Namun apakah tuntunan takbiran yang tepat demikian?. Bagaimana waktu yang tepat memulai takbir dan batas akhirnya? lalu serupakah takbir malam 10 Zulhijjah dan hari tasyrik? bagaimana lafal tuntunan takbir yang sebenarnya? bolehkah mengumandangkan takbir ramai-ramai dan dipimpin oleh imam? serta bagaimanakah jika takbir diiringi dengan irama dan bedug. Hal ini menjadi persoalan di tengah-tengah masyarakat.
Berikut ini adalah jawaban tarjih Muhammadiyah atas persoalan tersebut
1. Waktu memulai dan mengakhiri takbir
Jika merujuk pada Keputusan Muktamar Tarjih XX dan Musyawarah Nasional Tarjih XXIV yang antara lain menganjurkan agar memperbanyak takbir semenjak terbenamnya matahari pada malam ‘Idul Fithri.
Adapun dalil yang dijadikan dasar keputusan tersebut adalah Surat Al-Baqarah ayat 185 dan hadits riwayat Ibnu Umar sebagai berikut:
Artinya: “…dan supaya kamu menyempurnakan bilangannya dan supaya kamu agungkan kebesaran Allah atas petunjuk yang telah Dia berikan padamu dan supaya kamu bersyukur.” [QS. al-Baqarah (2): 185]
Ayat tersebut tidak secara tegas dinyatakan bahwa takbir dimulai setelah matahari terbenam, sebagai tanda telah sempurnanya puasa Ramadhan. Namun menurut kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh ‘Ali Hasballah dalam Kitab Ushuulut-Tasyrii‘il Islamiy halaman 187 atau yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhailiy dalam Ushuulul-Fiqhil-Islamiy Juz I halaman 231-232, bahwa apabila ada perintah yang tidak disertai dengan ketegasan waktunya, maka dibolehkan untuk menyegarakan sebagaimana boleh pula untuk mengakhirkan pelaksanaan perintah tersebut, namun menyegerakan adalah lebih utama dan lebih berhati-hati.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia apabila pergi ke tanah lapang di pagi hari Id, beliau bertakbir dengan mengeraskan suara takbirnya. Dalam riwayat lain (dikatakan): Beliau apabila pergi ke tempat shalat pada pagi hari Idul Fitri ketika matahari terbit, beliau bertakbir hingga sampai ke tempat shalat pada hari Id, kemudian di tempat shalat itu beliau bertakbir pula, sehingga apabila imam telah duduk, beliau berhenti bertakbir. [HR. asy-Syafi‘i dalam al-Musnad, I:153, hadis no. 444 dan 445].
Terhadap hadits Ibnu ‘Umar, dapat dipegangi sebagai berakhirnya waktu takbir dalam menyambut ‘Idul Fithri, yakni ketika shalat ‘Id segera akan dimulai.
Sedangkan takbir pada Hari Raya Adlha mulai sesudah shalat Shubuh pada hari ‘Arafah sampai akhir hari Tasyriq. Hal ini merujuk pada hadits
Dan beralasan pada riwayat al-Baihaqi dan ad-Daruquthni (yang mengatakan): bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca takbir sesudah dhalat shubuh pada hari Arafah sampai Ashar hari Tasyriq terakhir.
Adapun yang terkuat di antara yang diberitakan tentang hal itu dari para sahabat ialah perkataan Ali dan Ibnu Mas’ud (yang mengatakan) bahwa itu adalah mulai dari shubuh Arafah sampai hari-hari Mina yang terakhir. [Ditakhrijkan oleh Ibnul-Mundzir dan lain-lainnya]
2. Lafadz Takbir
Sebagaimana yang diputuskan dalam Muktamar Tarjih XX, lafadz takbir ialah
اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
Dalil yang menunjukan lafadz takbir seperti diatas ialah,
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُوْدٍ: اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.
Artinya: Diriwayatkan dari Salman, ia berkata: bertakbirlah dengan Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiiraa. Dan diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas’ud: Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd. [HR. Abdul Razzaaq, dengan sanad shahih]
3. Takbir dengan komando imam
Terdapat perbedaan dikalangan kaum muslimin, ada yang memperboehkan bertakbir dengan komando, ada pula yang berkeyakinan harus sendiri-sendiri.
Menurut Muhammadiyah dalam situs fatwatarjih.or.id, mengangap tidak mengapa dengan komando agar lebih kompak. Diperbolehkannya dikomandoi karena tidak ada dalil yang memerintahkan atau melarang bertakir dengan cara di pimpin.
4. Takbir diiringi dengan bedug atau alat musik
Takbir yang diiringi bedug dan alat musik tidak lain adalah untuk memperindah pendengaran sehingga orang tertarik dengan suara tersebut. Harapannya orang tertarik mengikuti atau mendengarkan takbir tersenut.
Tetapi bisa jadi takbir dengan bedug dan irama musik hanya dijadikan hiburan semata. Jauh daripada menggapai tujuan yaitu menghayati maknanya. Setidak-tidaknya kepada pemain musiknya akan lebih terkonsentrasi kepada menjaga keselarasan irama musik dengan suara takbir yang dikumandangkan. (iqbal)