Indonesia adalah salah satu negara dengan presentase penduduk beragama islam yang tinggi. Predikat tersebut menjadi perhatian penting dalam hal moderasi Islam. Moderasi menjadi ajaran inti dalam agama Islam. Paham keagamaan yang dinilai relevan dalam konteks keberagamaan yang meliputi segala aspek kehidupan baik agama, adat istiadat, suku dan bangsa itulah yang dinamakan Islam moderat. Maka dari itu, pemahaman tentang moderasi beragama tidak boleh dipahami secara tekstual, harus kontekstual, maknanya moderasi beragama di Indonesia bukan Indonesia yang dimoderatkan, tapi cara pemahaman dalam beragama yang harus moderat karena Indonesia memiliki beragam kultur, budaya, dan adat istiadat. Saat ini Islam dan Umat Islam setidaknya dihadapkan pada dua tantangan besar; Pertama, kecenderungan sebagian kelompok umat Islam yang bersikap konservatif, ektrim, dan kaku dalam memahami teks-teks keagamaan. Mereka memaksakan apa yang mereka yakini bahkan dalam beberapa hal menggunakan kekerasan; Kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap permisif dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikira negatif yang berasal dari budaya dan peradaban yang berbeda.
Moderasi beragama didalamnya terdapat heterogenitas atau kemajemukan. Kemajemukan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Dalam berbagai kerangka kesatuan kita dapat melihat bukti bahwa kemajemukan merupakan sunatullah. Kita melihat Allah menciptakan berbagai suku bangsa, beragam etnis dan kelompok, adanya berbagai dialek, adanya berbagai mazhab sebagai hasil ijtihad, serta diciptakannya berbagai agama. Dalam sebuah penelitian mengenai implementasi Pendidikan Islam moderat dalam mencegah ancaman radikalisme, untuk menghadapi masyarakat yang majemuk, senjata yang paling ampuh untuk mengatur agar tidak terjadi radikalisme dan bentrokan adalah melalui Pendidikan Islam yang moderat dan inklusif.
Memahami Makna Moderat
Islam moderat atau yang dikenal dengan Islam Wasathiyyah, diambil dari kata Islam dan “wasathiyyah”. Moderasi dalam bahasa Arab diartikan “al-awasathiyyah”. Secara bahasa “al-wasathiyyah” berasal dari kata “wasath”. Al-Asfahaniy mengartikan “wasthan” dengan “sawa’un” yaitu tengah-tengah diantara dua batas, atau dengan keadilan, yang tengah-tengah atau yang standar atau yang biasa-biasa saja. Wasathan juga bermakna menjaga dari bersikap tanpa kompromi bahkan meninggalkan garis kebenaran agama.
Zamimah, dalam Moderatisme Islam dalam Konteks Keindonesiaan menjelaskan kata “al-wasathiyyahh” berakar pada kata “al-wasth” (dengan huruf sin yang di sukunkan) dan “al-wasth” (dengan huruf sin yang difathahkan) yang keduanya adalah mashdar dari kata kerja “wasatha”. Selain itu wasathiyyah kerap kali disinonimkan dengan kata “al-iqtishad” dengan pola subjeknya “al-muqtashid”. Akan tetapi, wasathiyyah lebih aplikatif digunakan untuk menunjukkan paradigma berpikir sempurna, terutama yang berkaitan dengan beragama dalam Islam. Dalam kaidah bahasa Arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan “wasath” atau “wasathiyyah” dan orangnya disebut “wasith”. Kata wasith sendiri sudah diserap dalam bahasa Indonesia yang dimaknai dengan tiga pengertian, yaitu penengah, pelerai, dan pemimpin di pertandingan.
Dalam ranah praksisnya, moderat diwujudkan dalam beberapa klasifikasi, yaitu pertama,moderat dalam bab akidah; kedua, moderat dalam bab akidah; ketiga, moderat dalam bab akhlak dan budi pekerti; keempat, moderat dalam persoalan syariat.
Muhammadiyah dengan Islam Wasathiyyah
Al-Wasathiyyah Islamiyyah meliputi unsur rabbaniyyah (ketuhanan) dan insaniyyah (kemanusiaan). Islam wasathiyyah juga mengkombinasikan antara unsur maddiyyah (material) dan ruhiyyah (spiritual), memadukan antara wahyu dan akal, antara maslahah ammah dan maslahah individu. Muhammadiyah membawa konsep tajdid untuk menterjemahkan makna moderasi agama. Dalam pandangan Muhammadiyah, tajdid dimaknai dengan dua pengertian. Pertama, pengertian penyucian yaitu penyucian akidah Islam dari hal-hal berbau syirik, bid’ah, dan takhayul. Kedua, tajdid berarti pembaruan, dinamis, dan modernis, terutama yang berhubungan dengan masalah muamalah.
Maka terdapat tiga ciri dasar Wasathiyyah dalam pandangan Muhammadiyah, yaitu pertama beriman dan beribadah dimaknai secara mendalam, seimbang, dan luas tidak hanya fokus pada kulit luarnya serta tidak merasa paling tinggi. Kedua, dalam akhlak tidak hanya mengikuti sunnah Rasulullah secara simbolik, tapi harus melahirkan ajaran hasanah. Ketiga, dalam Muamalah, dinamis, dan berkemajuan. Selain prinsip tawasuth, Muhammadiyah mempunyai prinsip tawazun atau seimbang dan ta’adul atau adil, sehingga Islam dapat diaplikasikan secara aktual dan fungsional.
Wajah Islam wasathiyyah pada Muhammadiyah diinterpretasikan dalam gagasan Islam Berkemajuan. Bagi Muhammadiyah, Islam berkemajuan sesungguhnya merupakan revitalisasi gagasan pencerahan yang digagas oleh KH Ahmad Dahlan. Pemikiran-pemikiran dari tokoh pendiri Muhammadiyah tersebut dari sebelum dan pada masa berdirinya Muhammadiyah dianggap komplit dan sesuai dalam pandangan masyarakat Indonesia saat itu. Saat masyarakat terjebak pada stigma bahwa ruang perempuan hanya terbatas mengurusi masalah domestik (sumur, dapur, dan kasur), KH Ahmad Dahlan dan istrinya mempelopori pembentukan perkumpulan perempuan yang dinamai ‘Aisyiyah. Saat terdapat dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, KH Ahmad Dahlan malah memberikan ilmu umum ke dalam kurikulum sekolah Muhammadiyah, yang saat itu ilmu umum dianggap kafir.
Moderasi Beragama Muhammadiyah pada Masyarakat Majemuk
Sering kali kita dihadapkan pada fenomena mengenai sikap dan simbol yang ada di masyarakat. Muhammadiyah hadir dalam masyarakat yang heterogen dengan sikap moderat. Moderat sebagai sikap tengahan bukan berarti cari aman terhadap segala sesuatu, tetapi lebih kepada adil dalam bersikap, dalam berpihak, dan tidak melihat sesuatu dari sudut hitam putih ataupun halal haram. Sebagai cotoh dalam hal pemakaian cadar. Pembehasannya telah dimuat dalam Buku Tanya Jawab Agama Islam yang diterbitkan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid. Maka Muhammadiyah menekankan bahwa umat Islam jangan terjebak pada simbol yang sifatnya sekedar formalitas tanpa dibarengi dengan pemahaman akan substansi ajaran agama.
Wujud Islam yang toleran dan moderat ini yang menjadi identitas khas Muhammadiyah yaitu Islam Berkemajuan. Kombinasi yang baik, antara ajaran Islam, local wisdom, dan modernitas membuat Islam di Indonesia memiliki peluang yang besar dalam mewujudkan Islam Wasathiyyah. Salah satu Cendekiawan Muslim dari Aljazair, yang pernah menjadi professor di Universitas Sorbonne, Perancis, Mohammad Arkoun menjelaskan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya dan Islam yang autentik dibandingkan dengan negara Islam Arab.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Muti menegaskan bahwa Muhammadiyah itu moderat, tidak berlebihan dan tidak ekstrim. Sebagai gerakan yang bersifat tengahan, Muhammadiyah muncul sebagai gerakan ilmu dan amal. Dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, sudah sewajarnya Muhammadiyah selalu mendengarkan pendapat dari berbagai sudut pandang, dan diharapkan dapat menghasilkan solusi yang dapat diterima semua pihak.
*Guru Ismuba Taruna Muhammadiyah Gunungpring dan Kader Muhammadiyah Muntilan