Suryagemilangnews.com, Palu. Tanggal 17 – 21 Desember ini saya berkesempatan pergi ke Palu, Sulawesi Tengah untuk bertugas sebagai fasilitator Bimtek Dukungan Psikososial Bagi Guru Pendidikan Menengah dan Khusus di Universitas Muhammadiyah Palu yang diikuti sekitar seribuan guru di Kota Palu. Acara ini terselenggara atas kerja sama MDMC dengan Kemendikbud dan masih dalam rangka respon bencana gempa bumi, tsunami serta likuifaksi.
Kesempatan ini tentu menjadi momen berharga bagi saya karena inilah pertama kali saya mendapat tugas dari MDMC untuk terlibat dalam respon tanggap bencana diluar Jawa dan menjadi pengalaman berharga untuk meningkatkan wawasan serta pengetahuan.
Dalam acara ini saya punya kesempatan untuk bertemu dengan para guru dari berbagai sekolah negeri swasta di Kota Palu dan berbagi bersama mereka. Salah satu yang ingin saya ketahui tentu adalah kisah para guru ini dalam menghadapi bencana yang terjadi di Kota mereka.
Satu kisah dramatis yang saya dapat adalah kisah para guru dari SMAN 2 Kota Palu yang pada saat terjadinya gempa pertama (28/9/2018) sedang mendampingi murid-muridnya melaksanakan camping di desa Jono Oge, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Dua orang guru SMAN 2 Palu yang saya temui adalah Ibu Azizah dan Pak Nu’man, mereka berdua hari itu bertugas mendampingi ke-150 siswa mereka. Kepada saya mereka bercerita secara detil bagaimana pengalaman tragis dan dramatis yang mereka alami saat likuifaksi terjadi.

Seperti sudah banyak diberitakan bahwa Jono Oge adalah desa di Kabupaten Sigi yang terkena likuifaksi, bergeser sejauh 3 kilometer dan harus kehilangan sebagian warganya entah itu meninggal ataupun hilang.
Ibu Azizah mengatakan saat itu dirinya beserta para guru saat itu sedianya sudah mau pulang dari Jono Oge dan kembali ke Palu setelah mendampingi para siswa. Waktu menunjukkan pukul 17.00 WITA ketika mereka bersiap pulang ke Palu, baru berjalan berapa saat dari lokasi, terjadilah gempa dahsyat dan membelah tanah di depan mereka.
Seketika mereka mengurungkan niat kembali ke Palu dan lari balik ke arah desa Jono Oge karena di depan mereka bumi sudah terbelah sehingga tidak mungkin pergi. Namun yang terjadi selanjutnya di Jono Oge justru lebih mengerikan, tanah tempat mereka berpijak bergerak, bergelombang dan berlumpur. Bahkan menurut Ibu Azizah, beberapa saat setelah bergerak muncul air entah dari mana, ada yang panas bergelembung.
“Saat itu hari sudah mulai gelap dan kami tidak bisa melihat apa-apa, karena listrik mati, sementara tanah yang kami injak terus bergerak. Saya hanya bisa pasrah sambil mencari tahu keadaan murid-murid saya, namun saya tidak bisa apa-apa, hanya mendengar teriakan dan panggilan minta tolong,” tuturya.
“Untungnya saya diberi pertolongan oleh Alloh SWT, ada pohon kelapa yang bisa saya pegang. Dengan berpegangan pohon kelapa saya bisa selamat tidak ditelan lumpur. Ada beberapa murid yang sempat saya temukan dan kami saling bantu membantu menyelamatkan dari tanah yang terus bergerak saat itu. Sampai kira-kira jam sebelas malam, saya sudah merasa lemas,” lanjutnya.
Sementara Pak Nu’man menuturkan bahwa dirinya bisa selamat dengan menumpang atap rumah yang sebagiannya sudah ditelan tanah. Hanya atap itu yang masih tersisa dan disanalah dia duduk terbawa arus likufaksi sehingga bisa selamat.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Ibu Azizah bersama para siswa dan guru yang selamat berjalan mencari bantuan di kegelapan malam, meskipun harus sangat berhati-hati dalam berjalan karena jika salah, mereka bisa terperosok dalam lumpur. Sampai suatu kali mereka mendengar ada suara motor dari kejauhan, yang berarti disana ada jalan. Dicarilah arah suara motor itu dan setelah berjalan sampai pukul sebelas pagi, barulah mereka dapat mencapai tempat aman serta mendapat bantuan dari warga lain.
Dalam peristiwa tersebut, SMAN2 Kota Palu kehilangan 25 siswa dan seorang guru dengan rincian 13 orang diketemukan dalam kondisi meninggal serta 13 orang yang sampai saat ini hilang tidak bisa ditemukan. Sementara Ibu Azizah pasca mengalami kejadian tersebut sempat menjalani perawatan di Makassar selama kurang lebih dua minggu. Pak Nu’man meskipun tidak terluka serius, namun dia mengatakan kadang masih trauma jika mengingat kejadian tersebut. (sapari)