Di era digital yang serbacepat ini, bahasa netizen atau bahasa yang digunakan di media sosial menjadi fenomena yang sangat berkembang dan menonjol di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Bahasa ini biasanya ditandai dengan penggunaan bahasa gaul, singkatan, istilah-istilah kekinian, serta gaya penulisan cenderung santai dan ekspresif. Meskipun bahasa netizen mempermudah berkomunikasi serta menciptakan suasana akrab, tetapi keberadaannya ternyata membawa dampak yang kompleks terhadap bahasa formal. Khususnya, terhadap bahasa akademik yang digunakan dalam dunia pendidikan.
Bahasa Akademik dan Tantangan Metedologi dalam Pendidikan
Pertama – tama, bahasa netizen memungkinkan komunikasi yang lebih cepat dan dekat antarindividu. Istilah-istilah seperti kepo, mager, baper, dan singkatan lain yang bersifat dinamis dan mudah berubah membantu para pengguna media sosial untuk mengekspresikan pendapat, perasaan, dan interaksi dengan cara yang lebih ringan dan kreatif. Penggunaan bahasa gaul di kalangan mahasiswa misalnya, dapat mengurangi rasa canggung dalam berkomunikasi dan membangun ikatan sosial yang lebih erat. Hal ini menunjukkan fungsi sosial positif dari bahasa netizen sebagai alat untuk menjalin hubungan sosial yang informal dan menyenangkan.
Namun, dari sisi lain, penggunaan bahasa netizen yang berlebihan juga menghadirkan tantangan serius bagi perkembangan dan pemertahanan bahasa akademik. Bahasa akademik menuntut ketelitian, kejelasan, serta kepatuhan terhadap kaidah bahasa yang baku dan formal. Dalam konteks pendidikan, terutama pada mahasiswa, perpindahan dari bahasa netizen yang santai ke bahasa akademik yang formal sering kali sulit. Hal ini terjadi karena mereka sudah terlalu terbiasa menggunakan bahasa gaul atau slang dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini berpotensi mengakibatkan lemahnya kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama dalam penulisan tugas akademik dan presentasi ilmiah.
Salah satu faktor yang memperkuat maraknya penggunaan bahasa netizen adalah pengaruh media sosial yang masif. Media sosial tidak hanya menjadi tempat untuk berinteraksi, melainkan juga sarana penyaluran ekspresi diri yang tidak terikat oleh norma bahasa formal. Media sosial seperti Instagram, Twitter, dan TikTok memungkinkan bahasa gaul menyebar dengan cepat dan diadopsi oleh banyak kalangan tanpa filter formalitas. Sebagai akibatnya, bahasa akademik terkadang terabaikan dalam keseharian; muncul kecenderungan untuk menggunakan bahasa yang kurang tepat dalam konteks akademik.
Bahasa Netizen dan Peran Meme dalam Komunikasi Digital
Berbagai penelitian juga menunjukkan fakta bahwa penggunaan bahasa gaul yang berlebihan dapat mengikis kemampuan berbahasa baku. Misalnya, penelitian oleh RR Sebayang (2024) yang mengamati mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara menemukan bahwa pengaru media sosial menyebabkan penggunaan bahasa gaul meluas dalam komunikasi sehari-hari generasi muda. Hal ini berdampak negatif terhadap keterampilan menulis akademik dan pemahaman bahasa baku. Sebagian mahasiswa menggunakan bahasa gaul bahkan dalam komunikasi dengan keluarga atau lingkungan akademik informal. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai masa depan bahasa akademik Indonesia jika generasi muda terus-menerus menggunakan bahasa netizen tanpa membedakan konteks komunikasi. Hal ini tentunya dapat membahayakan kelestarian bahasa akademik.
Namun, sangat penting untuk diingat bahwa bahasa netizen bukan sepenuhnya sesuatu yang harus dilawan atau dihindari. Bahasa ini memiliki peran penting dalam membangun kreativitas berbahasa, menjembatani komunikasi antarmanusia, serta memudahkan penyampaian pesan yang lebih ekspresif dan relevan dalam konteks sosial tertentu. Masalah utama yang perlu diatasi adalah bagaimana agar pengguna bahasa, khususnya mahasiswa, dapat meningkatkan kesadaran untuk beralih antarragam bahasa sesuai konteks. Mereka perlu kesadaran terkait kapan bahasa gauldigunakan; serta kapan mereka harus berbahasa akademik.
Solusi yang dapat ditempuh adalah pembelajaran bahasa yang lebih kontekstual dan adaptif di institusi pendidikan. Kurikulum perlu memasukkan materi tentang pemertahanan bahasa dan ragam bahasa tinggi serta ragam bahasa rendah. Dalam materi ini, siswa diajarkan perbedaan antra bahasa netizen dan bahasa akademik, termasuk kapan dan bagaimana menggunakan masing-masing ragam bahasa sesuai konteks. Pendekatan bilingual dalam bahasa formal dan informal akan membantu mahasiswa untuk mengembangkan fleksibilitas berbahasa dalam bahasa yang baik. Selain itu, guru dan dosen perlu memberikan contoh konkret yang mengintegrasikan keduanya agar mahasiswa bisa melihat perbedaan penerapan bahasa dalam situasi yang beragam.
Menghidupkan kembali rasa cinta dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia yang baku dan formal juga merupakan langkah penting. Bahasa akademik adalah salah satu kunci utama dalam pencapaian kecakapan dan profesionalisme akademis serta karier masa depan. Upaya ini harus diimbangi dengan pemahaman bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang hidup dan berkembang sesuai kebutuhan zaman. Bahasa netizen adalah bagian dari evolusi bahasa, tetapi tidak boleh menggeser posisi bahasa akademik sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Secara garis besar, bahasa netizen telah membawa warna dalam komunikasi modern dengan segala kelebihannya dalam konteks sosial. Namun, pengaruhnya terhadap bahasa akademik perlu diwaspadai agar kemudahan dan kreativitas berbahasa di media sosial tidak mengorbankan kecakapan dan mutu bahasa resmi dalam ranah akademik. Kesadaran akan fungsi dan konteks penggunaan bahasa yang berbeda-beda harus diperkuat agar generasi muda bisa berkomunikasi secara efektif dan profesional di semua bidang kehidupan.
*Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi (FSBK) Universitas Ahmad Dahlan

















