SURYAGEMILANGNEWS.COM, MAGELANG – Pandemi Covid-19 menghajar perekonomian masyarakat Indonesia. Namun hal miris terungkap dalam diskusi bersama Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma). Konsumsi rokok justru meningkat. Terutama di kalangan milenial.
Hasil survei Kemenkes RI di 25 provinsi membuka fakta, bahwa perokok aktif anak usia 15-24 tahun mencapai 35 persen. Ini angka yang tertinggi. Berikutnya, usia 25-34 tahun 24 persen, usia 35-44 tahun 21 persen, dan pada usia 45 tahun ke atas mencapai 20 persen.
Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia dr M Subuh meminta seluruh elemen prihatin dengan kondisi itu. Fenomena ini membuktikan, bahwa gejolak ekonomi tidak mempengaruhi minat masyarakat merokok. Padahal rokok memiliki dampak luas, multiple burden. Mengganggu kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan.
Dalam konteks kesehatan, dampak rokok dapat memperburuk kondisi kesehatan, dan mempengaruhi angka harapan hidup pasien. Utamanya mereka yang menderita penyakit seperti Covid-19, tuberculosis (TBC), human immunodeficiency virus (HIV), malaria, stunting, dan sebagainya.
“Bahayanya, kalau ini nggak di-treatment baik, akan timbul kronisitas. Dan akhirnya adalah mortalitas,” ucapnya dalam acara focus group discussion (FGD) virtual yang diselenggarakan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma), Sabtu, (31/7/2021).
Menurut dia, kronisitas dan mortalitas tidak hanya menjadi beban pemerintah. Tapi juga masyarakat. Namun jika rokok dapat dikendalikan, kata dia, secara langsung mengendalikan penyakit-penyakit lainnya. Salah satunya TBC.
Pemerintah daerah harus berperan paling kuat, sesuai amanah undang-undang. Ia mengelompokkan ke dalam empat urusan yang menjadi tanggung jawab pemda. Petama, upaya kesehatan. Kedua, sumber daya manusia kesehatan (SDMK). Ketiga, menjaga ketersediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman. Keempat, pemberdayaan masyarakat.
“Dinkes mengupayakan kebijakan dasar untuk pelaksanaan urusan kesehatan tematik, termasuk untuk kawasan tanpa rokok (KTR),” tegasnya.
Dia mendorong semua kota dan kabupaten di Jateng memiliki Perda/Perkada tentang KTR. Supaya ada dasar hukum dalam melaksanakan berbagai varian kegiatan di lapangan.
Ketua MTCC Unimma Retno Rusdjijati sepakat, regulasi KTR adalah hal penting yang harus dimiliki tiap daerah. Pihaknya kembali menggugah kesadaran Pemda, bahwa regulasi KTR merupakan amanah UU No 36 Tahun 2009 Pasal 115. Pemda wajib menetapkan KTR di wilayahnya. Terutama di tujuh tempat. Meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum serta tempat lain yang ditetapkan.
Tuntutan yang sama tercantum pada Pasal 49 PP Nomor 109 Tahun 2012. Dalam rangka penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif, berupa produk tembakau bagi kesehatan. Kemudian pemerintah dan pemda wajib mewujudkan KTR. Hal ini diperjelas kembali pada Pasal 56, bahwa Pemda wajib menetapkan KTR di wilayahnya dengan Peraturan Daerah (Perda).
“Karena dari 22 kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang kami dampingi, baru delapan daerah yang sudah memiliki Perda KTR. Lainnya sudah punya, dalam bentuk peraturan bupati/wali kota, surat edaran bupati/wali kota,” ujarnya.
Lalu, ada 12 daerah di Jawa Tengah yang sama sekali belum punya regulasi KTR. Baik daerah yang dalam pendampingan MTCC Unimma, maupun di luar itu. Antara lain, Kabupaten Magelang, Kota Magelang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Demak, Kota Tegal, Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Temanggung.
Menurutnya, kondisi ini harus menjadi perhatian mengingat di level provinsi saja sudah ditetapkan Peraturan Gubernur No 3 Tahun 2019 tentang KTR. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah adanya Perda KTR sebagai indikator beberapa penghargaan level nasional, seperti penghargaan Kota Layak Anak (KLA).
“Sampai dengan saat ini, belum satupun kota/kabupaten di Indonesia yang berhasil memenuhi 24 indikator pencapaian KLA itu,” ungkapnya.
Dia membeberkan, pedoman penilaian KLA menuntut fasilitas kesehatan, pendidikan dan ibadah setidaknya 90 persen merupakan KTR. Sedangkan fasilitas umum 50 persen, dan tanpa promosi dari industri rokok.
Hal yang paling penting adalah manajemen reklame rokok atau iklan promosi dan sponsor (IPS). Menurut dia, promosi rokok di lingkungan umum memperparah pergeseran belanja rumah tangga. Ada korelasi massif di sini.
“Selama ini, pengeluaran rumah tangga untuk pembelian rokok lebih besar daripada untuk pembelian protein, seperti daging sapi, ayam atau telur, yang berdampak pada gangguan tumbuh kembang anak (stunting),” sentilnya.
Perda KTR, adalah wujud larangan merokok di ruang publik, pada tingkat lokal. Dengan harapan prevalensi merokok turun. Jika terwujud, pengeluaran rumah tangga terselamatkan. Beban pemerintah atas biaya kesehatan penduduknya akibat konsumsi rokok—ikut berkurang.
Salah satu faktor utama lemahnya penegakkan KTR disebabkan Pemda lebih mementingkan aspek ekonomi dibandingkan aspek kesehatan. Cara pandang seperti ini disebut sebagai kebijakan yang bersifat myopik. Tidak melihat dampak jauh ke depan, tapi hanya mementingkan penerimaan dari iklan rokok sebagai sumber pendapatan daerah.
Dalam acara ini, hadir pula Direktur P2TM Kemenkes RI dr Cut Putri Arianie. Kemudian Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta yang juga Ketua Aliansi Bupati dan Wali Kota se-Indonesia untuk pembangunan kesehatan. Serta Sekretaris Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Sri Purwaningsih. Acara juga diikuti perwakilan dari Bappeda, Litbang, dan Bagian Hukum di 22 kota/kabupaten se-Jateng,
Dikonfirmasi, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Magelang Jumari terkejut dengan hasil survei peningkatan konsumsi rokok selama pandemi itu. Ia menduga, karena faktor kejenuhan. Khusus kepada warga Muhammadiyah ia berpesan, merokok adalah kegiatan yang harus dihindari. Apalagi Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sudah mengeluarkan fatwa. Rokok adalah haram.
“Masih banyak kegiatan positif dan produktif yang bisa dilakukan di masa pandemi ini,” ujarnya.
Fenomena kalangan muda yang doyan merokok juga tidak boleh disepelekan. Perlu menjadi perhatian guru, dan orang tua. “Ini tugas berat, sekaligus mulia, untuk mendampingi, dan mengarahkan anak-anak muda, agar mengisi kegiatan mandiri yang lebih bermanfaat, dan menambah kesucian jiwa. Banyak-banyak membaca kitab suci, serta meningkatkan ketekunan dalam beribadah,” pungkasnya. (van)