Di masyarakat berkembang humor plesetan tentang apa perbedaan pil kb dan pilkada (pemilihan kepala daerah) yaitu bahwa pil kb kalau lupa jadi, sedangkan pilkada jika jadi lupa. Humor ini tentu bukan asal humor tanpa landasan sosial, tapi justru berangkat dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat dan kemudian dikemas secara cerdas dalam ungkapan bernada humor. Realitas sosial tersebut adalah perilaku elite politik daerah yang melupakan janji-janjinya sewaktu kampanye setelah terpilih dalam pemilihan bahkan banyak diantara mereka melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum yang tentu ini merusak harapan publik yang disandarkan kepada mereka.
Humor tersebut sebetulnya merupakan sindiran dari publik kepada para elite politik secara umum, baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif. Pilkada yang dalam UU nomor 8 tahun 2015 hanya disebut dengan pemilihan dan sejak tahun 2005 dilaksanakan secara langsung, sebenarnya membawa harapan baru bagi publik akan terpilihnya kepala daerah yang berkualitas. Tetapi harapan publik tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan karena alih-alih menjadi pemimpin yang baik, sejak 2004 hingga 2017 sebanyak 392 kepala daerah tersangkut perkara hukum dengan jumlah terbesar adalah korupsi yaitu 313 kasus. (www.kemendagri.go.id, 11/12/2017).
Kasus sebanyak itu tentu jumlah yang sangat besar untuk kejahatan korupsi, sehingga banyak pihak menyebut bahwa Indonesia darurat korupsi. Berbagai hipotesis dilontarkan terkait maraknya korupsi oleh para kepala daerah, salah satunya adalah mahalnya ongkos demokrasi di Indonesia. Untuk maju dalam kompetisi politik menjadi kepala daerah, para kandidat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit baik untuk “mahar” kepada partai politik pengusung, tim sukses, kampanye bahkan kepada para konstituen yang tidak jarang juga meminta imbalan untuk suara dukungan yang akan diberikan. Terjadilah politik transaksional, dukungan dalam kompetisi politik ditransformasikan dalam bentuk nilai rupiah, sehingga momen-momen pemilihan seperti menjadi “pasar politik” yang tak kasat mata, para politisi sebagai pembeli dukungan dari konstituen yang berperan sebagai penjual.
Ongkos politik yang nilainya bisa puluhan milyar tersebut tentu menjadi beban berat bagi kandidat kepala daerah itupun dengan resiko belum tentu mendapat kemenangan. Bagi yang memperoleh kemenangan, karena sudah mengeluarkan biaya besar tentu berpikir untuk mengembalikan “modal politik” tadi, terjadilah praktek-praktek korupsi yang tak jarang nilainya fantastis. Proses ini menjadi seperti mata rantai yang tak terputus dan menjadi problem besar demokrasi di Indonesia.
Pemilihan kepala daerah sebenarnya merupakan momen politik yang harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan proses politik yang bersifat jangkat panjang dalam menjalankan partisipasi politik publik. Dalam konteks pendidikan politik, publik harus disadarkan bahwa kehidupan mereka sehari-hari tidak lepas dari politik selama 24 jam dalam sehari apapun aktifitas mereka. Kebijakan-kebijakan politik menjadi penentu hajat hidup masyarakat secara individu maupun komunal sehingga dibutuhkan partisipasi politik publik yang terus menerus, tak terputus dari satu pemilihan ke pemilihan berikutnya.
Selama ini memang terjadi salah penyikapan yang cukup fatal tentang partisipasi politik publik dari masyarakat bahkan para politisi sendiri, mereka mengerahkan energi besar untuk partisipasi politik hanya ketika momen pemilihan digelar, begitu selesai paslon terpilih dilantik dan menjalankan pemerintahan gegap gempita partisipasi politik publik seolah-olah berhenti begitu saja. Kalaupun ada yang masih aktif mengawal jalannya pemerintahan paslon terpilih, itu hanya sebagian kecil saja yang biasanya adalah sebagian anggota legislatif, NGO dan tokoh masyarakat yang kritis. Karena yang terjadi demikian, maka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh paslon terpilih seperti korupsi menjadi terbuka karena minimnya pengawalan. Kemana masyarakat yang saat menjelang pemilihan begitu semangat bahkan kadang diwarnai ketegangan antar pendukung paslon satu dengan lainnya? Mereka lupa atau dilupakan untuk meneruskan partisipasi politiknya sampai akhir masa jabatan paslon terpilih. Disinilah humor perbedaan pilkada dan pil KB menemukan maknanya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mewujudkan partisipasi politik tersebut? Ada banyak jalan sebenarnya untuk mewujudkan partisipasi politik publik yang baik, bisa berasal dari kepala daerah sendiri atau dari masyarakat maupun kombinasi keduanya bersama-sama mewujudkannya. Dari masyarakat bisa secara individu, lewat perwakilannya di DPRD maupun melalui ormas atau NGO. Sedangkan untuk kepala daerah, membuka kran komunikasi seluas-luasnya dengan masyarakat dari awal jalannya pemerintahan akan menjadi indikator positif adanya kemauan politik untuk mewujudkan transparansi dan partisipasi politik publik yang baik. Untuk saat ini tren komunikasi antara kepala daerah dengan masyarakat melalui media sosial menjadi satu pilihan cerdas karena masyarakat kini menginginkan layanan pemerintahan yang cepat, solutif tapi efisien. Komunikasi dua arah yang cepat, solutif dan efisien tersebut pada gilirannya pasti akan makin meningkatkan partisipasi politik publik secara langsung serta tentu bisa menepis kebenaran humor pilkada dan pil KB.
(Sapari, Ketua PDPM Kab. Magelang)