Suryagemilangnews.com – Di tahun1960-an pondok pesantren Kyai Siradj Punduh, Tempurejo, Tempuran kehadiran tamu istimewa, seorang tokoh nasional sekaligus Ketua Pimpinan Pusat Masyumi yaitu Prawoto Mangku Sasmito. Tidak jelas benar misi kehadiran Prawoto bersama Kholil Badawi sesungguhnya karena secara resmi hanya silaturahmi biasa dari Ashar hingga Isya’.
Zen Fanani muda, yang pada waktu itu turut membersamai pembicaraan para tokoh tersebut ingat betul sepenggal pernyataan Prawoto, “Menurut perhitungan saya, disini tetap akan berkembang. Entah bagaimana kalkulasinya, yang jelas sepenggal pernyataan tersebut telah menjadi virus spiritual yang menguatkan semangat juang Zen Fanani muda.
Sebenarnya kehadiran Prawoto sebagai tokoh sentral Masyumi di Tempuran saja sudah cukup menjadi tanda bahwa di salah satu sudut Tempuran ada potensi kemasyumian atau kemuhammadiyahan, meskipun selama ini Tempuran dikenal sebagai salah satu basis pesantren yang tentu berbeda paham keagamaan dengan Muhammadiyah.
Awal Perintisan Muhammadiyah Tempuran
Setelah berpetualang mencari ilmu selama kurang lebih 15 tahun di Solo dan Tebuireng Jawa Timur, Zen Fanani pulang ke kampung halamannya untuk menyebarluaskan ilmu keislaman yang ternyata fahamnya berbeda dengan yang diyakini masyarakat di kampung halamannya.
Aktifitas pertama yang dilakukan Zen Fanani adalah mendirikan pengajian malam Ahad secara kecil-kecilan dan cenderung sembunyi-sembunyi di rumahnya, saat itu tahun 1965. Pengajian ini pesertanya masih sedikit dan hanya mereka yang sudah mempunyai kesamaan pandangan saja yang ikut.

Meski belum menyebut diri Muhammadiyah, namun pengajian ini sudah tentu berbeda dengan faham yang dianut oleh masyarakat Tempuran saat itu karenanya tidak lama setelah berjalan, halangan demi halangan, gangguang-gangguan mulai dirasakan oleh Zen Fanani dan peserta pengajian malam Ahad tersebut.
Gangguan-gangguan itu antara lain jalan masuk ke lokasi pengajian dihalang-halangi dengan bambu dan dijaga oleh para pemuda, ban sepeda dikempesi, pentil ban dibuang sehingga sepeda jelas tidak bisa dinaiki lagi dan papan yang digunakan untuk pengajian ditempeli kotoran manusia. Tidak cukup sampai disitu, bahkan sampai ada “embargo ekonomi” oleh masyarakat setempat dengan cara masyarakat dilarang mengerjakan sawah para peserta pengajian. Bahkan saat ada yang berani mengerjakan sawah Zen Fanani, luku (alat untuk membajak sawah) dipotong-potong, sehingga Zen Fanani harus menggantinya.
Lain lagi yang dialami oleh Wahadi Irfan di kampungnya, Wahadi berprofesi sebagai pedagang telur satu-satunya di kampung halamannya. Para penduduk dilarang menjual telur bebek kepadanya. Demikian seriusnya gangguan-gangguan tersebut, sehingga salah seorang anggota koramil yang menjadi peserta pengajian malam Ahad sampai meminta ijin untuk menembak mereka, namun dilarang oleh Zen Fanani. Mereka hanya belum mengerti maka tidak perlu dilayani, kata Zen Fanani saat itu.
Kesabaran dan ketahanan inilah yang menyebabkan para peserta pengajian menjadi militan sehingga semua gangguan tersebut tidak menyurutkan langkah. Zen Fanani tetap menyampaikan Islam menurut Al Qur’an dan Sunnah secara tegas serta lugas. (bersambung)
*Disalin dari buku “Ada Untuk Bermakna” halaman 248-253, Editor : Sapari