Pembaca Suryagemilangnews.com mulai saat ini redaksi akan menyajikan rubrik “sosok” yang mengulas tentang para tokoh dari berbagai aspek. Para tokoh yang akan kami ulas bisa jadi adalah tokoh yang sudah wafat maupun yang masih hidup dan akan kami sajikan secara random. Kami hadirkan rubrik ini sebagai media untuk mengenal figur seorang tokoh dan mengambil hikmah dari kehidupan ataupun kiprah sang tokoh itu sendiri untuk bisa menjadi inspirasi bagi kita semua.
Biografi KH. Ahmad Dahlan
Sebagai pembuka rubrik ini kami akan menyajikan kisah ketokohan sosok sentral pendiri persyarikatan Muhammadiyah, siapa lagi kalau bukan KH. Ahmad Dahlan. Banyak tulisan tentang KH. Ahmad Dahlan, namun tidak ada salahnya tetap kami sajikan dengan sudut pandang yang agak berbeda dengan yang lain.
KH. Ahmad Dahlan lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1868 Masehi. Kampung Kauman ini terletak di sebelah barat alun-alun utara Yogyakarta. Ayahnya bernama Abu Bakar seorang ulama dan khotib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri dari H. Ibrahim seorang penghulu Kesultanan Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan mempunyai nama kecil Muhammad Darwisy dan jika dirunut dari garis keturunan ayahnya akan sampai pada salah satu dari Wali Songo yaitu Maulana Malik Ibrahim.
Muhammad Darwisy kecil menerima pendidikan pertama di keluarganya, sosok ayahnya lah yang menjadi guru pertama dan juga para sahabat dari ayahnya. Dari mereka Darwisy belajar dasar-dasar ilmu agama. Di usia 15 tahun dia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim disana selama 5 tahun. Selama itu Muhammad Darwisy mempelajari berbagi macam ilmu baik agama maupun ilmu-ilmu umum dengan salah satu guru yang terkenal adalah Syekh Ahmad Khatib yang juga guru tokoh pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari. Di Mekkah ini pula Muhammad Darwisy mulai berkenalan dengan pemikiran para tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Saat berumur 20 tahun Muhammad Darwisy pulang ke Kauman dan mengganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Setelah kembali ke kampungnya ini Ahmad Dahlan diangkat menjadi khotib amin sehingga mendapat gelar panggilan Kyai Haji di depan namanya. Selain khotib, KH. Ahmad Dahlan juga menjalani profesi sebagai pedagang batik.Dari kedua aktifitas inilah KH. Ahmad Dahlan mulai menjalankan kiprahnya dan mengembangkan jaringan dengan banyak tokoh serta pihak di kawasan Yogyakartan dan sekitarnya.
Di usia 35 tahun KH. Ahmad Dahlan menunaikan haji untuk kedua kalinya dan bertemu dengan tokoh pembaharu Islam yaitu Syaikh Muhammad Rasyid Ridhlo. KH. Ahmad Dahlan banyak berdiskusi tentang masalah-masalah agama dan keumatan dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridlo sehingga makin menambah wawasan keilmuan dan kematangan berpikirnya.
Setelah pulang dari Mekkah untuk kedua kalinya inilah KH. Ahmad Dahlan menikah dengan sepupunya bernama Siti Walidah binti KH. Fadhil yang kemudian hari terkenal dengan sebutan Nyai Ahmad Dahlan. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Pendirian Muhammadiyah
Latar belakang pendirian Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan merupakan poin-poin penting dalam sejarah organisasi ini yang jarang diperbincangkan publik. Hal ini wajar karena tentu perkara-perkara yang menimbulkan kontroversi saja yang menarik publik untuk memperbincangkannya.
Salah satu latar belakang utama pendirian Muhammadiyah adalah pendalaman KH. Ahmad Dahlan sendiri terhadap kandungan Al Qur’an. Ini termasuk juga langkah-langkah KH. Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah selanjutnya. Ayat Al Qur’an yang menginspirasi pendirian Muhammadiyah adalah Surat Ali Imron ayat 104.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ
وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ada sebagian orang yang memandang bahwa paham keagamaan yang dianut oleh KH. Ahmad Dahlan dan pengikutnya di Muhammadiyah sebagai satu hal yang “mbedani” kata orang Jawa. Beda dari kebanyakan umumnya. Tentu cara pandang ini diikuti oleh pandangan sinis bahwa ajaran yang dibawa KH. Ahmad Dahlan adalah suatu hal baru yang beda dari keislaman masyarakat Jawa pada umumnya kala itu, bahkan pandangan tersebut masih ada sampai sekarang.
KH. Ahmad Dahlan memang berbeda dibanding ulama sezamannya kala itu karena dia tidak serta merta menelan mentah-mentah doktrin keagamaan yang telah melekat kuat di masyarakat, namun mengembalikan paham keislaman kepada dua sumbernya yang utama yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Tidak pula seperti umumnya umat Islam kala itu yang memandang Al Qur’an adalah teks-teks suci yang cukup dihafal luar kepala dan cukup puas dengan “ganjaran” atau pahala ketika membacanya, KH. Ahmad Dahlan melakukan perenungan mendalam dalam terhadap pengamalan ayat-ayat Al Qur’an.
Yang utama adalah ketika menafsir dan mengimplementasikan kandungan Ali Imron 104 di atas, KH. Ahmad Dahlan mengamalkan ayat tersebut dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan menafsirkan “…segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar…” sebagai segolongan orang yang berhimpun bersama dalam sebuah organisasi yang berfungsi untuk melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar.
Selanjutnya dalam menafsirkan Surat Al Ma’un yang kisahnya begitu terkenal bagi warga Muhammadiyah. Kepada para muridnya KH. Ahmad Dahlan mengulang-ulangi pelajaran tentang Al Ma’un hingga salah satu muridnya bertanya kenapa berulang-ulang hanya membahas tentang Al Ma’un dan dijawab oleh KH. Ahmad Dahlan sudahkah surat itu mereka amalkan. Akhirnya untuk mengamalkan surat Al Ma’un ini KH. Ahmad Dahlan mengajak para muridnya mendirikan panti asuhan yatim piatu.
Demikianlah KH. Ahmad Dahlan yang memang berbeda dalam menafsirkan dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Dengan cara-cara yang ditempuhnya KH. Ahmad Dahlan terbukti mampu menterjemahkan ajaran Islam menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan umat Islam kala itu bahkan sampai sekarang. Memang seharusnya demikianlah Islam mampu memberi pencerahan dan solusi bagi permasalahan umat manusia.